Kamis, 25 Desember 2008

One of the Missions in My Life Has Just Completed…

One of the Missions of My Life Has Just Completed…

Pagi hari kemarin, aku pergi ke kampus dengan berbalut kemeja putih rapi dilapisi jas abu-abu dan bawahan abu-abu gelap yang sedikit glossy tak ketinggalan pula dasi abu-abu yang melilit di leherku. Tidak biasanya aku mengenakan pakaian a la kalangan eksekutif dan profesional ini. Aku mengenakan pakaian tersebut karena hari itu aku akan menempuh ujian sidang sarjana sebagai syarat untuk mendapat gelar S.S. (Sarjana Sastra) setelah menempuh kuliah di Jurusan Sastra Inggris.

Tiba di kampus sekitar pukul 7.30, teman-temanku yang lain yang juga akan sidang sudah berderet di depan dekanat dengan mengenakan kostum yang serupa denganku. They were all good-looking, actually. Mereka menunggu dimulainya sidang yang direncanakan pukul 9.00. Beberapa diantaranya sibuk membuka lembaran-lembaran skripsi yang aku yakin sudah mereka pelajari sebelumnya dengan matang. Melihat ini, aku pun merasa terpancing untuk membuka lembaran skripsiku sendiri untuk sekedar meyakinkan diriku bahwa aku sudah mempelajari semuanya dan bahwa aku benar-benar siap untuk sidang hari itu. Dalam pikiranku sendiri terlintas pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan akan ditanyakan dosen-dosen penguji dan aku pun mempersiapkan jawaban-jawabannya. Setelah yakin, aku menutup kembali skripsiku dan memasukkannya kembali ke dalam tas.

Setelah beberapa saat merasa tenang, aku merasakan ada hal yang kurang setelah melihat teman-temanku membawa tas tambahan yang berisi buku-buku dan referensi yang mereka gunakan sebagai sumber skripsi mereka. Aku pun sedikit resah karena aku hanya membawa satu buku yang berisi teori utama skripsiku. untuk sekedar memastikan apakah buku-buku tersebut harus dibawa saat sidang, aku pun bertanya kepada beberapa temanku namun jawabannya bervariasi. Tak mau gelisah, aku pun memutuskan untuk kembali ke kostan untuk mengambil buku-buku yang tertinggal di sana. Untungnya, salah satu temanku Willy, mau meminjamkan motornya sehingga aku bisa cepat kembali ke kampus. Thanks, bro!

Menjelang pukul 9.00, semua peserta ujian mulai menuju ruang sidang. Dosen sekaligus sekretaris jurusan, Taufik Hanafi, meminta peserta ujian mengumpulkan kartu ujian, KTM, dan tanda bukti lunas registrasi. Aku pun mempersiapkannya dan menyerahkannya kepada Taufik. Namun betapa kagetnya aku ketika Taufik mengatakan bahwa fotokopi KTM-ku tidak bisa diterima karena yang diminta adalah KTM yang asli. Hal ini terjadi juga pada seniorku Salabi yang saat itu menunjukkan fotokopi ktm, bukan asli. Setelah kucoba jelaskan bahwa KTM-ku hilang dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Akhirnya Taufik pun memaklumi dan menyuruh kami memeinta surat pengganti KTM yang hilang ke bagian akademik saat itu juga. Akhirnya aku dan Salabi bergegas ke lantai satu untuk mengurus hal ini. Namun, belum selesai mengurus semuanya, Taufik menyusul ke bagian akademik dan memanggil kami untuk segera masuk ruang sidang karena pembukaan sidang akan dimulai. Aku dan Salabi akhirnya kembali ke lantai tiga menuju ruang sidang, sedangkan urusan surat ditangani Taufik. What a nice guy, Thanks for cooperation, bro!

Tiba di ruang sidang, semua peserta sudah berjejer dan pembukaan sidang segera dimulai. Aku dan Salabi sempat terkena ”semprotan” Bu Linda karena telat masuk. Namun, beberapa saat kemudian, sidang dimulai yang ditandai dengan ketukan palu (walaupun hanya dengan kepalan tangan) oleh Bu Linda. Akhirnya semua peserta dipersilakan menunggu giliran ujian di luar.

Di luar ruang sidang, semua peserta semakin menunjukkan ekspresi muka yang menegangkan, harap-harap cemas, seperti jin kurang sajen. Salabi dan Dewi Kultsum mendapat giliran pertama. Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam ruang sidang tapi sepertinya ramai sekali. Aku hanya berusaha menenangkan diriku dan meyakinkan diriku bahwa aku bisa mengatasi semuanya. Kalaupun aku tidak lulus saat itu, aku pun siap. Karena mungkin itu yang terbaik bagiku. I was just hoping for the best and preparing for the worst.

Kulihat jam di Hp-ku sudah menunjukkan pukul 10.30 tapi giliranku belum juga tiba. Tak mau terus menerus melihat jam, aku pun mematikan ponselku dan kembali menenangkan diriku, kali ini dengan berbincang-bincang dengan beberapa temanku. Di tengah perbincangan, kulihat temanku Ayu keluar dari ruang sidang dengan kesal dan mencacai diri sendiri, tearing, she told her friends that she felt like a fool for not being able to answer the questions she actually knew what the answers were. Tentu saja ini membuat yang lain semakin tegang, termasuk diriku. Anyway, aku mencoba tetap yakin that I could make it.

Sekitar pukul 12.00, akhirnya namaku dipanggil untuk masuk ruang sidang dan memang aku mendapat giliran terakhir diantara teman-teman pengutamaan Linguistik. Ketika masuk ruang sidang, it was not what I thought, ternyata suasana di dalam ruangan sama sekali tidak menegangkan. Dosen-dosen penguji dan pembimbing menguji mahasiswa sambil menyantap makanan dan meminum minuman ringan. Bahkan ada yang hilir mudik kesana-kemari seperti mencari duit recehan yang hilang. Aku pun menghadap para penguji dan pembimbing yang sudah duduk berderet seperti mau lomba cerdas cermat.

Tibalah saatnya para penguji melancarkan aksinya padaku dimulai dengan penguji pertama, Ibu Ekaning, a veiled lady. Beberapa pertanyaannya mampu kujawab dengan diplomatis, namun pada saat dia menanyakan ”which theory on which this analysis is based?” I felt a lump in my throat. Pertanyaan yang kukhawatirkan ini akhirnya muncul juga. I was trying to answer the question eventhough I was sure that she was not satisfied with it. Kemudian beliau meminta aku menunjukkan dasar teorinya dan kucoba perlihatkan buku sumbernya langsung untuk menunjukkan teori tersebut. Unfortuantely, aku tidak dapat menemukan printed-text-nya. Hal ini membuatku semakin tidak karuan. Terlebih ketika Ibu Eva, which is my counselor, menarik buku tersebut dari tanganku dan menunjukkan halaman yang aku cari-cari. Ketika dia menemukannya, dia menunjukkannya padaku and just said “You miss ten points” karena kecerobohanku. Walaupun pikiranku berkecamuk, aku tetap berusaha menenangkan diriku and just passed it. Kemudian tibalah saatnya penguji kedua, kali ini Pak Eko. Aku merasa santai dengannya karena bawaannya yang selalu santai dan penuh canda (walaupun candaannya jorok). Dalam menjawab pertanyaannya pun aku tidak banyak menemui hambatan. Everything went well. Setelah selesai, aku ke luar ruangan dengan perasaan tak menentu. Walaupun demikian, aku pasrah dan siap menerima keputusan terpahit sekalipun.


* * *


Sekitar pukul 16.00, peserta diminta kembali masuk ruang sidang untuk mendengar keputusan final berdasarkan penilaian masing-masing penguji. Suasana tegang semakin menjadi-jadi sehingga kalaupun pipi kanan-kiri ditampar, pandangan mata tidak berkedip (berlebihan ya?he3).

Akhirnya Ibu Linda kembali membuka sidang penutupan untuk membacakan hasil keputusan akhir. Beliau membukanya dengan menenangkan para peserta ujian akan segala keputusan walaupun pahit. Beliau juga mengatakan bahwa para penguji di kampus tidak lebih berat dari para penguji di dunia kerja di luar sana. Mereka akan lebih berat lagi menguji setiap kinerja karyawan-karyawannya. Mendengar hal ini, aku sedikit termenung termakan oleh kata-katanya yang kupikir ada benarnya. Kemudian beliau membuka berkas-berkas nilai dan mulai membacakan hasilnya. Akan tetapi, ketika salah satu berkas di pegang, beliau kembali menyimpannya dan mencari berkas yang lain. ”Yang ini nanti saja, saya mau bacakan yang ini dulu.” kira-kira demikian ungkapannya. Tentu saja hal ini semakin membuat jantungku dan teman-teman berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang. Kemudian beliau mulai membacakan hasilnya satu per satu... ”Bernard Siregar... terpaksa kami luluskan dengan yudisium sangat memua..kkan.” Kalimat tersebut terucap diiringi tepuk tangan dari seluruh peserta dengan tawa simpul. Ditengah pembacaan, dosen-dosen penguji lain saling mengadu kedigjayaannya dalam melontarkan lawakan-lawakan dari yang segar sampai yang garing bahkan lebay. Motornya adalah Taufik, Eko, Sandya dan Ono, yang terbilang ”dosen-dosen muda”, sedangkan dosen-dosen senior lain hanya menanggapi kekonyolan mereka. Sementara peserta lain tetap serius mendengar hasil keputusan, aku dan beberapa teman merasa terhibur oleh mereka. Walaupun acara ini formal, tapi suasananya terasa santai dan penuh tawa. Ditengah situasi tersebut, pikiranku terfokus ketika namaku disebut oleh Ibu Linda.

”Cecep Wijaya Sari, mana..?” dia bertanya sambil menatap wajah-wajah mahasiswa. Aku pun mengacungkan tangan setelah namaku dipanggil.
”Oke, Cecep lulus dengan IPK 3,25 dan dengan yudisium sangat memuaskan...” ”Alhamdulillah...” ucapku lirih.

Mendengar kalimat tersebut aku merasa melayang dan tiba-tiba memoriku kembali ke saat-saat pertama masuk kampus, teringat masa-masa kuliah dengan dosen-dosen yang ada dihadapanku saat itu dengan segala tabiat dan karakternya. Aku pun menatap wajah-wajah dosen tersebut satu per satu dan mengingat segala kesan dan kenangan bersama mereka. Entah mengapa, aku merasa ingin kembali kuliah dan menggali ilmu dari mereka. Walaupun mereka konyol, they are all intelligent and potential. Walaupun demikian, aku kembali tersadar bahwa keputusan ini merupakan sesuatu yang aku harapkan 4 tahun dan 4 bulan yang lalu, dimana aku berharap mendapatkan sebuah gelar sarjana yang juga telah diperoleh saudara-saudaraku yang lain. Di sisi lain, aku juga harus mulai beradaptasi dengan statusku yang baru, yaitu menjadi pengajar Bahasa Inggris di SMP Al Azhar Kelapa Gading, karena dua hari sebelum sidang aku mengikuti tes microteaching di SMP tersebut dan alhamdulillah diterima.

Ibu Linda akhirnya mengakhiri sidang dengan menyampaikan ucapan selamat kepada para mahasiswa yang lulus dan menyarankan agar tetap mejaga hubungan dan menjaga nama baik universitas terutama jurusan. Ok, one of the missions in my life has just been completed, but the others are waiting for me.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar